blog saya
Kamis, 31 Maret 2011
SEJARAH KOTA MADIUN
SEJARAH KOTA MADIUN
Berdirinya Pemerintah Kota Madiun seperti halnya Pemerintah Kota di Indonesia ini, selalu tidak terlapas dari sejarah berdirinya Pemerintahan Kabupaten/Kerajaan yang ada sebelumnya.
Demikian juga dengan Pemerintahan Kota Madiun yang dapat dipelajari dari sisa peningggalan sejarah, baik berupa barang, adat istiadat maupun lembaga-lembaga. Di wilayah Kota Madiun terdapat 2 (dua) kelurahan yang dahulu kala pada masa Pemerintahan Kesultanan Mataram kedua Kelurahan tersebut berstatus Tanah Perdikan yang bebas mengurus rumah tangganya sendiri, yaitu Tanah Perdikan Taman dan Kuncen.
Jauh sebelum pada masa akhir pemerintahan Majapahit di wilayah Madiun selatan terdapat Kerajaan/Pemerintahan Gegelang yang didirikan oleh Pangeran Adipati Gugur, Putra Brawijaya terakhir.
Jauh sebelum pada masa akhir pemerintahan Majapahit di wilayah Madiun selatan terdapat Kerajaan/Pemerintahan Gegelang yang didirikan oleh Pangeran Adipati Gugur, Putra Brawijaya terakhir.
Selanjutnya dengan pertimbangan geografis dan ekonomis, pusat pemerintahan bergeser ke utara di pinggir bengawan Madiun, yang dinamakan Kutho Miring di wilayah Kelurahan Demangan sekarang dan kemudian pindah lagi ke Kompleks Rumah Dinas Bupati Madiun sekarang ini.
Pada masa pemerintahan Kutho Miring tersebut, di wilayah Kabupaten Sawo Ponorogo terdapat pemberontakan kepada kerajaan Mataram. Akhirnya Bupati Madiun yang merupakan Bupati Mancanegara Timur (dengan Gelar RONGGO) yang wilayah kerjanya juga meliputi daerah Sawo Ponorogo, diberi tugas untuk memadamkan pemberontakan tersebut.
Pada masa pemerintahan Kutho Miring tersebut, di wilayah Kabupaten Sawo Ponorogo terdapat pemberontakan kepada kerajaan Mataram. Akhirnya Bupati Madiun yang merupakan Bupati Mancanegara Timur (dengan Gelar RONGGO) yang wilayah kerjanya juga meliputi daerah Sawo Ponorogo, diberi tugas untuk memadamkan pemberontakan tersebut.
Pada masa kepemimpinan RONGGO ke II yang bergelar RONGGO PRAWIRODIRDJO inilah lahir Pahlawan Nasional Putra Madiun yang bertugas sebagai Senopati Perang Pangeran Diponegoro yang bernama ALI BASAH SENTOT PRAWIRODIRDJO.
Sebelum meletus Perang Diponegoro, Madiun belum pernah dijamah oleh orang-orang Belanda dan Eropa lainnya. Namun dengan berakhirnya Perang Diponegoro, Belanda menjadi tahu potensi daerah Madiun dan terhitung mulai tanggal 1 Januari 1832 Madiun secara resmi dikuasai oleh Pemerintah Hindia Belanda dan dibentuklah suatu Tatanan Pemerintahan yang berstatus KARESIDENAN dengan ibukota di Desa Kartoharjo (tempat istana Patih Kartoharjo) yang berdekatan dengan Istana Kabupaten Madiun di Desa Pangongangan.
Sebelum meletus Perang Diponegoro, Madiun belum pernah dijamah oleh orang-orang Belanda dan Eropa lainnya. Namun dengan berakhirnya Perang Diponegoro, Belanda menjadi tahu potensi daerah Madiun dan terhitung mulai tanggal 1 Januari 1832 Madiun secara resmi dikuasai oleh Pemerintah Hindia Belanda dan dibentuklah suatu Tatanan Pemerintahan yang berstatus KARESIDENAN dengan ibukota di Desa Kartoharjo (tempat istana Patih Kartoharjo) yang berdekatan dengan Istana Kabupaten Madiun di Desa Pangongangan.
Sejak saat itu mulailah berdatangan bangsa Belanda dan Eropa lain yang berprofesi dalam bidang perkebunan dan perindustrian yang akibatnya muncul berbagai perkebunan teh di Jamus dan Dungus, Kopi di Kandanga dan tembakau di Pilangkenceng dan lain-lain dan mereka bermukim di dalam kota di sekitar Istana Residen Madiun.
Semua warga Belanda dan Eropa yang bermukim di Kota Madiun, karena statusnya yang merasa superior, berusaha untuk melaksanakan segregasi (pemisahan) social, berdasarkan perundang-undangan Inlandsche Gementee Ordonantie, oleh Departemen Binnenlandsch, dibentuk Staads Gementee Madiun atau Kota Praja Madiun berdasarkan Peraturan Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 20 Juni 1918 dengan berdasarkan staatsblaad tahun 1918 nomor 326.
Pada awalnya Walikota (Burgemeester)nya dirangkap oleh Asister Residen merangkap sebagai Voor Setter, yang pertama Ir.W.M. Ingenlijf yang selanjutnya diganti oleh De Maand hingga tahun 1927.
Pada awalnya Walikota (Burgemeester)nya dirangkap oleh Asister Residen merangkap sebagai Voor Setter, yang pertama Ir.W.M. Ingenlijf yang selanjutnya diganti oleh De Maand hingga tahun 1927.
wwwmadiunkota.go.id
SEJARAH KABUPATEN PONOROGO
SEJARAH KABUPATEN PONOROGO
BATHORO KATONG MENDIRIKAN KADIPATEN
Menurut Babad Ponorogo (Purwowidjoyo;1997), setelah Raden Katong sampai di wilayah Wengker, lalu memilih tempat yang memenuhi syarat untuk pemukiman ( yaitu di dusun Plampitan Kelurahan Setono Kecamatan Jenangan sekarang). Melalui situasi dan kondisi yang penuh dengan hambatan, tantangan, yang datang silih berganti, Raden Katong, Selo Aji, dan Ki Ageng Mirah beserta pengikutnya terus berupaya mendirikan pemukiman. Sekitar 1482 M eng konsulidasi wilayah mulai di lakukan.
Tahun 1482 – 1486 M, untuk mencapai tujuan menegakkan perjuangan dengan menyusun kekuatan, sedikit demi sedikit kesulitan tersebut dapat teratasi, pendekatan kekeluargaan dengan Ki Ageng Kutu dan seluruh pendukungnya ketika itu mulai membuahkan hasil.
Dengan persiapan dalam rangka merintis mendirikan kadipaten didukung semua pihak, Bathoro Katong (Raden Katong) dapat mendirikan Kadipaten Ponorogo pada akhir abad XV, dan ia menjadi adipati yang pertama.
• SEJARAH BERDIRINYA
Kadipaten Ponorogo berdiri pada tanggal 11 Agustus 1496 Masehi, tanggal inilah yang kemudian di tetapkan sebagai hari jadi kota Ponorogo. Penetapan tanggal ini merupakan kajian mendalam atas dasar bukti peninggalan benda-benda purbakala di daerah Ponorogo dan sekitarnya, juga mengacu pada buku Hand book of Oriental History, sehingga dapat ditemukan hari wisuda Bathoro Katong sebagai Adipati Kadipaten Ponorogo. Bathoro Katong adalah pendiri Kadipaten Ponorogo yang selanjutnya berkembang menjadi Kabupaten Ponorogo.
• ASAL – USUL NAMA PONOROGO
Mengutip buku Babad Ponorogo karya Poerwowidjojo (1997). Diceritakan, bahwa asal-usul nama Ponorogo bermula dari kesepakatan dalam musyawarah bersama Raden Bathoro Katong, Kyai Mirah, Selo Aji dan Joyodipo pada hari Jum'at saat bulan purnama, bertempat di tanah lapang dekat sebuah gumuk (wilayah katongan sekarang). Didalam musyawarah tersebut di sepakati bahwa kota yang akan didirikan dinamakan “Pramana Raga”yang akhirnya lama-kelamaan berubah menjadi Ponorogo.
Pramana Raga terdiri dari dua kata: Pramana yang berarti daya kekuatan, rahasia hidup, permono, wadi sedangkan Raga berarti badan,j asmani. Kedua kata tersebut dapat ditafsirkan bahwa dibalik badan, wadak manusia tersimpan suatu rahasia hidup(wadi) berupa olah batin yang mantap dan mapan berkaitan dengan pengendalian sifat-sifat amarah, aluwamah, shufiah dan muthmainah. Manusia yang memiliki kemampuan olah batin yang mantap dan mapan akan mnempatkan diri dimanapun dan kapanpun berada.
www.ponorogo.go.id
SEJARAH KABUPATEN MADIUN
SEJARAH KABUPATEN MADIUN
Kabupaten Madiun ditinjau dari pemerintahan yang sah, berdiri pada tanggal paro terang, bulan Muharam, tahun 1568 Masehi tepatnya jatuh hari Karnis Kilwon tanggal 18 Juli 1568 / Jumat Legi tanggal 15 Suro 1487 Be - Jawa Islam.
Berawal pada masa kesultanan Demak, yang ditandai dengan perkawinan putra mahkota Demak Pangeran Surya Patiunus dengan Raden Ayu Retno Lembah putri dari Pangeran Adipati Gugur yang berkuasa di Ngurawan Dolopo. Pusat pemerintahan dipindahkan dari Ngurawan ke desa Sogaten dengan nama baru Purabaya (sekarang Madiun). Pangeran Surya Patiunus menduduki kesultanan hingga tahun 1521 dan diteruskan oleh Kyai Rekso Gati. (Sogaten = tempat Rekso Gati)
Pangeran Timoer dilantik menjadi Supati di Purabaya tanggal 18 Jull 1568 berpusat di desa Sogaten. Sejak saat itu secara yuridis formal Kabupaten Purabaya menjadi suatu wilayah pemerintahan di bawah seorang Bupati dan berakhirlah pemerintahan pengawasan di Purabaya yang dipegang oleh Kyai Rekso Gati atas nama Demak dari tahun 1518 - 1568.
Pada tahun 1575 pusat pemerintahan dipindahkan dari desa Sogaten ke desa Wonorejo atau Kuncen, Kota Madiun sampai tahun 1590.
Pada tahun 1686, kekuasaan pemerintahan Kabupaten Purabaya diserahkan oleh Bupati Pangeran Timoer (Panembahan Rama) kepada putrinya Raden Ayu Retno Djumilah.. Bupati inilah selaku senopati manggalaning perang yang memimpin prajurit-prajurit Mancanegara Timur.
Pada tahun 1586 dan 1587 Mataram melakukan penyerangan ke Purbaya dengan Mataram menderita kekalahan berat. Pada tahun 1590, dengan berpura-pura menyatakan takluk, Mataram menyerang pusat istana Kabupaten Purbaya yang hanya dipertahankan oleh Raden Ayu Retno Djumilah dengan sejumlah kesil pengawalnya. Perang tanding terjadi antara Sutawidjaja dengan Raden Ayu Retno Djumilah dilakukan disekitar sendang di dekat istana Kabupaten Wonorejo (Madiun)
Pusaka Tundung Madiun berhasil direbut oleh Sutawidjaja dan melalui bujuk rayunya, Raden Ayu Retno Djumilah dipersunting oleh Sutawidjaja dan diboyong ke istana Mataram di Pleret (Jogyakarta) sebagai peringatan penguasaan Mataram atas Purbaya tersebut maka pada hari jum'at Legi tanggal 16 Nopember 1590 Masehi nama “Purbaya” diganti menjadi “Madiun ”.
www.madiunkab.go.id
SEJARAH KABUPATEN NGANJUK
SEJARAH KABUPATEN NGANJUK
A. Nganjuk pada permulaan tahun 1811
Sejarah pemerintahan kabupaten pace sangat sulit diungkapkan
Karena kurangnya data yang dapat menjelaskan keberadaannya. Demikian pula halnya dengan mata rantai hubungan antara kabupaten pace dengan kabupaten berbek. Sehubungan dengan hal tersebut maka pembahasan tentang sejarah pemerintahan kabupaten nganjuk dimulai dari keberadaan kabupaten berbek
Berdasarkan peta jawa tengah dan jawa timur pada permulaan tahun 1811 yang terdapat dalam buku tulisan Peter Carey yang berjudul :”Orang jawa dan masyarakat Cina (1755-1825)”,penerbit pustaka Azet, Jakarta,1986;diperoleh gambaran yang agak jelas tentang daerah nganjuk.apabila dicermati peta tersebut ternyata daerah nganjuk terbagi dalam 4(empat)daerah ,yaitu Berbek ,Godean dan Kertosono.dengan catatan , bahwa Berbek,Godean,Nganjuk dan Kertosono merupakan daerah yang dikuasai belanda dan kasultanan Yogyakarta,sedangkan daerah nganjuk merupakan mancanegara kasunanan Surakarta
Timbul pertanyaan, apakah keempat daerah tersebut mempunyai status sebagai daaerah kabupaten yang dipimpin oleh seorang bupati (Raden Tumenggung) atau berstatus lain? Dari silsilah keturunan raja negeri bima, silsilah Ngarso Dalem Sampean Dalem ingkang Sinuwun Kanjeng Sulatan Hamengkubuwono1 atau asal usul Raden Tumenggung Sosrodi-Ningrat Bupati Nayoko Wedono Lebet Gedong Tengen Rajekwesi dapat diperoleh kesimpulan bahwa memang benar daerah-daerah tersebut pada waktu itu merupakan daerah kabupaten. Adaoun penguasa daerah Berbek dan Godean dapat dijelaskan sebagai berikut:
1, Raja bima mempunyai seoarang putra, yaitu: Haji Datuk Sulaeman, yang kawin dengan putri Kyai Wiroyudo dan berputra 4(empat) orang yaitu;
1. Nyai Sontoyudo
2.Nyai Honggoyudo
3.Kyai Derpoyudo
4.Nyai Damis Rembang
2. Nyai Honggoyudo berputra:
1. Raden Ayu Rongso Sepuh
2. Raden Ayu Tumenggung Sosronegoro
3. Raden Ngabei Kertoprojo
4. Mas Ajeng Kertowijoyo
3. Raden Tumenggung Sosronegoro I,Bupati Grobongan, mempunyai putra sebanyak 30(tiga puluh) orang, antara lain:
1. Raden Tumenggung Sosrodiningrat I (putra I)
2. Reden Tumenggung Sosrokoesoemo I (putra VII)
3. Raden Tumenggung Sosrodirjo (putra ke XXIII)
4. Raden Tumenggung Sosrokoesoemo I adalah Bupati Berbek (sebelaum pecah dengan Godean) Berputra sebanyak 19(sembilan belas) orang ,antara lain :
1. RMT Sosronegoro II(putra ke-2)
2. RT. Sosrokoesoemo II (putra ke-11).
Menurut pengamatan penulis, ketika RT Sosrokoesoemo I meninggal dunia, telah digantikan adiknya, yakni RT Sosrodirdjo sebagai Bupati Berbek. Setelah itu Berbek di pecah menjadi dua daerah, yaitu berbek dan godean. RT. Sosrodirdjo tetap memimpin daerah Berbek, sedangkan Godean dipimpin oleh keponakannya yaitu RMT.Sosronegoro II (putra kedua dari RT Sosrokoesoemo I). selanjutnya, menurut perkiraan, setelah kedua bupati tersebut surut/pension, kabupaten Berbek yang dipimpin oleh RT.Sosrokoesoemo II (Putra ke-11 dari RT.Sosrokoesoemo I).
Tentang kabupaten Nganjuk dan Kertosono belum dapat diungkapkan lebih kauh, karena dalam perkembangan selanjutnya kedua daerah tersebut bergabung manjadi satu dengan daerah Berbek, yang diperkirakan terjadi sebelum tahun 1852. Adapun bupati Nganjuk sekitar tahun 1830 adalah RT.Brotodikoro, sedangkan bupati Kertosono adalah RT.Soemodipoero.
B. Nganjuk Sekitar Tahun 1830
Perjanjian Sepreh
Pada tanggal 3 juli 1830 atau tanggal 12 bulan suro tahun 1758, telah diadakan suatu pertemuan di Pendopo Sepreh oleh Raad Van Indie Mr.Pieter Markus, Ridder Van de Orde Van de Nederlandsche leeuw, Commisaris ter Regelling de Vorstenlanden untuk mengatur daerah-daerah mancanegara kesunanan Surakarta atau kesultanan Yogyakarta, sebagai tindak lanjut dari persetujuan antara Neterlandsch Gouverment dengan yang mulia saat itu akan ditempatkan dibawah pengawasan dan kekuasan Nederlandsch Gouverment.
Keesokan harinya, pertemuan tersebut telah menghasilkan “Perjanjian Sepreh Tahun 1830” yang ditandatangani dengan teraan-teraan cap dan bermaterai oleh 23 Bupati dari residensi kediri dan residensi Madiun, dengan disaksikan oleh Raad Van Indie, Komisaris yang mengurus daerah-daerah kraton serta tuan-tuan Van Lawick Van Pabst dan J.B. de Solis, residen Rembang. Berdasarkan persetujuan tersebut mulai saat itu Nederlandsch Gouverment melaksanakan pengawasan tertinggi dan menguasai daerah-daerah mancanegara.
Apabila dicermati, ternyata salah satu dari 23 Bupati yang telah ikut menandatangani perjanjian tersebut adalah raden Tumenggung Brotodikoro, regency van Ngandjoek. Mengapa demikian hal itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
Bahwa yang mengikuti pertemuan di Pendopo Sepreh hanyalah bupati-bupati mancanegara dari Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta, sedangkan bupati Berbek dan bupati Kertosono, sebagaimana diuraikan dimuka, adalah merupakan bupati dari daerah-daerah yang telah dikuasai dan mulai tunduk dibawah pemerintah belanda jauh sebelumnya.
Dari uraian tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa sejak adanya Perjanjian Sepreh 1830, atau tepatnya tanggal 4 juli1830, maka semua kabupaten di nganjuk (Berbek, Kertosono dan Nganjuk ) tunduk dibawah kekuasaan dan pengawasan Nederlandsch Gouverment.
Nganjuk Setelah Perjajian Sepreh
Pada tanggal 31 Agustus 1830, atau hampir dau bulan setelah Perjanjian Sepreh, pemerintahan Hindia Belanda mengadakan penataan-penataan / pengaturan-pengaturan atas kabupaten-kabupaten yang telah berada dibawah pengwaasan dan kekuasaanya. Tentang penataan ini dapat dilihat dalam surat pemerintahan Hindia Belanda Y1.La.A.No.1, Semarang, 31 Agustus 1830, yang berisikan tentang hasil konperensi dari Gubernur Jendral dengan komisaris-komisaris yang mengurus / mengatur daerah-daerah keratin.
Dari hasil konperensi tersebut, kemudian keluar satu keputusan tetang rencana dari Pemerintah Hindia Belanda, yang antara lain menerangkan bahwa:
Pertama :Menentukan bahwa daerah mancanegara bagian timur akan terdiri dari dua residensi, yaitu Residensi Kediri dan Residensi Madiun
Kedua :Bahwa Residensi Madiun akan terdiri dari kabupaten-kabupaten: Kedirie, Kertosono, Ngandjoek, Berbek, Ngrowo dan kalangbret. Dan selanjutnya dari Distrik-distrik Blitar, Trenggalek, kampak dan yang lebih timur sampai dengan batas-batas dari Malang; baik batas dari kabupaten-kabupaten maupun distrik juga akan diatur kemudian. 1)
Ketiga :Bahwa Residensi Kediri akan terdiri dari kabupaten-kabupaten :Kedirie, Kertosono, Ngandjoek, Berbek, Ngrowo dan Kalangbret. Dan selanjutnya dari Distrik-dastrik Blitar, trenggalek, Kampak dan yang lebih ke Timuar sampai dengan batas-batas dari Malang: baik batas dari Kabupaten-kabupaten maupun Distrik-distrik juga akan diatur kemudian. 1)
baca skep. Y1. LA. No. Semarang 31 Agustus 1830
Sebagai realisasinya, pada kurun waktu empat bulan kemudian ditetapkanlah Resolusi No 10 Tanggal 31 Desember 1830, yang berisikan tentang pelaksanaan dari Skep. Tanggal 31 Agustus 1830 tersebut di atas
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam isi Resolusi tersebut, khususnya pada bagian keempat, yang antara lain berbunyi sebagai berikut : 2)
baca Resolusi tanggal 31 Desember 1830 No 10.
Keempat : juga sangat disayangkan, dari Skep, tanggal 31 Agustus Y1. La. No 1 terpaksa disetujui (diperkuat) dua Residensi dalam kabupaten-kabupaten:
ResidensiMadiun dalam kabupaten- kabupaten:
Madiun
Poerwo-dadie
Toenggoel
Magetan
Gorang-gareng
Djogorogo
Tjaruban ……
b. Residensi Kedirie dalam kabupaten- kabupaten:
Kedirie
Nganjoek
Berbek
Kertosono, …..
Dari hasil pengamatan kedua dokumen tersebut, dapat diketahui bahwa setelah penyerahan pengawasan dan kekuasaan atas daerah-daerah mancanegara oleh Suhunan dari surakarta dan Sultan dari Yogyakarta kepada pemarintah Hindia Belanda, maka pemerintah Hindia Belanda telah menerapkan tiga wilayah pemerintahan yaitu:Kabupaten Ngandjoek, kabupaten Berbek dan kabupaten Kertosono.
Tentang para penjabat Bupati dari ketiga kabupaten tersebut , ditetapkan dengan akte Komisaris Daerah-daerah yang telah diambil alih, yang ditandatangani di Semarang 16 juni 1831, oleh van Lawick van Pabst, dengan tiga personalia Bupati sebagai berikut :3)
Raden Toemenggoeng Sosrokoesoemo sebagai Bupati Berbek
Raden Toemenggoeng Brotodikoro sebagai Bupati Nganjuk dan
Raden Toemenggoeng Soemodipoero sebagai Bupati Kertosono
Penetapan pejabat-pejabat Bupati tersebut bersamaan dengan penetapan pejabat Bupati yang lain dalam Residensi kedirie: Bupati Kedirie Raden Mas Toemenggoeng Ario Djojoningrat; Bupati Ngrowo –Radeen DIpati Djajengningrat ; Bupati Kalangbret –Radeen Toemenggoeng Mangoondikoro; dan Bupati Srengat Radeen Ngabey Mertokoesoemo.
C. Berbek,Cikal Bakal Kabupaten Nganjuk
Kanjeng Raden Toemenggoeng Sosrokoesoemo I :
Dalam uraian berikut ini lebih banyak menjelaskan tentang
3). Baca Akte Komisaris Daerah-daerah Keraton yang telah diambil alih oleh Residensi Kediri, yang ditandatangani di Semarang oleh Van Lawick Van Pabst. Dalam akte kolektif ini juga ditetapkan personalia pejabat-pejabat Kabupaten yang lain, seperti Patih, Mantrie, Jaksa, Mantri Wedono / Kepala Distrik, mantri Res dan Penghoeloe.
Perjalanan sejarah keberadaan Kabupaten Berbek “cikal bakal” Kabupaten Nganjuk sekarang ini. Dikatakan “cikal bakal” karena ternyata kemudian bahwa alur sejarah kabupaten Nganjuk adalah berangkat dari keberadaan Kabupaten Berbek dibawah kepemimpinnan Radeen Toemenggoeng Sosrokoesoemo 1.
Kapan tepatnya daerah Berbek mulai menjadi suatu daerah yang berstatus kabupaten, kiranya masih sulit diungkapkan. Namun dari silsilah keluarga dan catatan:”Peninggalan Kepurbakalaan Kabupaten Nganjuk” tulisan Drs. Subandi, dapat diketahui bahwa bupati Berbek yang pertama adalah KRT. Sosrokoesoemo 1 (terkenal dangan sebutan Kanjeng Jimat).
Pada masa pemerintahanya dapat diselesaikan sebuah bangunan masjid yang bercorak hinduistis yang bernama masjid yoni Al Mubaarok. Terdapat sinengkalan huruf arab berbahasa jawa yang berbunyi:
Bagian depan :Ratu Pandito Tata Terus (1759)
Bagian Bawah :Ratu Nitih Buto Murti(1758)
Kanan/kiri: Ratu Pandito Tata Terus (1759)
Belakang: Ratu Pandito Tata Terus (1759)
Kanjeng Raden Toemenggoeng Sosrodirdjo
Setelah KRT Sosrokoesoemo meninggal dunia tahun 1760 (Leno Sarosa Pandito Iku), sebagai penggantinya adalah Kanjeng Raden Toemenggoeng Sosrodirdjo. Mendekati tahun 1811, Kabupaen Berbek pecah menjadi 2(dua), yaitu Kabupaten Berbek dan Kabupaten Godean. Sebagai bupati Godean adalah Raden Mas Toemenggoeng Sosronegoro II.
Kanjeng Radeen Toemenggoeng Sosrokoesoemo II:
Dalam perkembangan selanjutnya, sebagai tindak lanjut adalah perjanjian sepreh tahun 1830, yaitu adanya rencana penataan kembali daerah-daerah dibawah pengawasan dan kekuasaan Nederlandsch Gouverment,dengan SK 31 agustus 1830, ditetapkan bahwa Kabupaten Godean dinyatakan dicabut dan selanjutnya digabung dangan Kabupaten Berbek (yang terdekat). Dengan akte Komisaris daerah-daerah Keraton yang telah diambil alih dan ditandatangani oleh Van Lawick Van Pabst tanggal 16 juni 1831 di Semarang, ditunjuk sebagai bupati Berbek adalah Kanjeng Radeen Toemenggoeng Sosrokoesoemo II. Dari akte tersebut dapat diketahui bahwa Godean telah berubah statusnya menjadi Distri Godean, yang bersama-sama dengan distrik Siwalan dan distrik Berbek menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Berbek.
Raden Ngabehi Pringgodikdo :
KRT Sosrokoesoemo II(1830-1852)meninggal dunia tanggal 27 agustus 1852 karena menderita sakit paru-paru.yang ditunjuk sebagai penggantinya adalah Raden Ngabehi Pringgodikdo, patih dari luar Kabupaten Ngrowo, yang bukan termasuk garis keturunan / keluarga dari KRT.Sosrokoesoemo II. Pilihan jatuh pada Pringodikdo ini karena putra-putra dari KRT.Sosrokoesoemo II (Bupati yang telah meninggal) dianggap kurang mampu unuk menduduki jabatan bupati tersebut
Sedangkan Pringgodikdo dinilai lebih cakap dan berbudi pekerti yang baik, selain itu mempunyai pengalaman yang cukup daripada calon-calon lain yang diusulkan, sehingga dianggap mampu dan pantas untuk menggantikan KRT. Sosrokoesoemo II almarhum.
Pengangkatan Pringgodikdo sebagai bupati yang ditetapkan dengan Surat Keputusan Gubernur Jendral Nederlandsch India di Batavia, tanggal 25 November 1852. selanjutnya, apabila disimak dari isi surat residen Kedirie yang pertama, tanggal 20 September 1852 tetang pertimbangan-pertimbangan terhadap Pringgodikdo untuk diangkat menjadi Bupati Berbek adalah sebagai berikut:
“Kabupaten Berbek penting sekali, juga sangat luas, yang meliuti delapan distrik diwilayahnya, dan berbatasan dangan residen Madiun, Soerabaja, rembang, sehingga Policie disana seharusnya waspada…”
Menurut “Akte Komisaris daerah-daerah Kraton yang telah diambil alih “tanggal 16 Juni1831, bahwa dikabupaten Berbek terdapat 3(tiga) distrik, Kabupaten Nganjuk ada 2(dua) distrik dan Kabupaten Kertosono ada 3(tiga) distrik, sehingga jumlah keseluruhan ada 8(delapan) distrik, sama dengan yang disebutkan dalam SK di atas. Hal ini berarti sebelum KRT.Sosrokoesoemo II meninggal, telah terjadi suatu proses penghapusan Kabupaten Nganjuk dan Kabupaten Kertosono yang meliputi distrik-distrik: Berbek, Goden, Siwalan (asli dari Kabupaten Berbek), Ngandjoek, Gemenggeng (berasal dari Kabupaten Ngandjoek), Kertosono, Waroe Djajeng, Lengkong (berasal dari Kabupaten Ketosono).
Raden Ngabehi Soemowilojo
Raden Ngabehi Pringgodikdo menjabat sebagai bupati Berbek lebih kurang 14 tahun, yaitu sampai dengan tahun 1866. setelah mangkat digantikan oleh Raden Ngabehi Soemowilojo, patih pada kadipaten Blitar dengan SK Gubernur Jendral Nederlandsch Indie tanggal 3 September 1866 No. 10. selanjutnya dengan SK Gubernur Jendral Nederlandsch Indie tanggal 21 oktober 1866 No.102 dia diberi gelar toemenggoeng dan diijimkan manamakan diri : Raden Ngabehi Soemowilojo.
6. Radeen Toemenggoeng Sosrokoesoemo III:
Raden Ngabehi Soemowilojo meninggal dunia tanggal 22 februari 1878. Untuk menduduki jabatan Bupati Berbek yang kosong tersebut telah diangkat Raden Mas Sosrokoesoemo III, Wedono dari Nederlandsch Indie tanggal 10 april 1878 No.9, menjadi Bupati Berbek. Bersama dengan itu diberikan totle jabatan: Toemenggoeng dan diijinkan menuliskan namanya Radeen Toemenggoeng Sosrokoesoemo. Pada masa pemerintahan Radeen Toemenggoeng Sosrokoesoemo III inilah terjadi suatu peristiwa yang amat penting bagi perjalanan sejarah pemerintahan di Nganjuk hingga sekarang ini. Peristiwa tersebut adalah adanya kepindahan tempat pusat pemerintahan dari kota Berbek menuju kota Nganjuk. Mengenai hal boyongan ini akan diuraikan nanti.
Raden Mas Toemenggoeng Sosro Hadikoesoemo :
Pada tanggal 28 September 1900, RM. Adipati Sosrokoesoemo III karena menderita sakit yang terus menerus sehingga terpaksa memberanikan diri mengajukan permohonan kepada Gubernur Jendral Nederlansch Indie untuk diberhentikan dengan hormat dari jabatan Negara dengan diberikan hak pensiun. Dan selanjutnya, memohon agar karirnya putra laki-laki tertuanya: Raden Mas Sosro Hadikoesoemo menggantikan jabatan sebagai Regent (Bupati) Berbek.
Berdasarkan Besluit Gubernur Jendral nederlansch Indie tanggal 2 Maret 1901 No 10, Pemerintahan Hindia Belanda memberhentiakan R.M. Adipati Sosrokoesoemo dan selanjutnya mengangkat redden Mas Sosro Hadikoesoemo sebagai Regent (Bupati) Berbek dan memberinya gelar Toemenggoeng dan mengijinkan menamakan dan menuliskan:Raden MAs Toemenggoeng Sosro Hadi Koesoemo.
Satu hal penting yang perlu dipehatikan pada masa jabatan RMT. Sosro Hadi Koesoemo ini adalah mulai digunakan sebutan: Regentschap (Kabupaten) Nganjuk, yang pada waktu-waktu sebelumnya masih di sebut Afdelling Berbek (Kabupaten Berbek). Tentang hal ini dapat dilihat pada Regeering Almanak 1852-19420.
D. Boyongan Pusat Pemerintahan
Alasan dan Waktu Boyongan
Mengapa harus pindah ? pada Encyclopedia Van nederlandsch Indies Grovenhoge; Mertimes nijhoff, 1919, halaman 274-274,terdapat keterangan yang menjelaskan bahwa ibu kota Berbek adalah wilayah yang terisolasi. Karena itu tentunya sulit untuk berkembang. Kebetulan pada waktu itu sedang dilakdanakan pembangunan jalur kereta api jurusan Surabaya – Solo, sehingga ibu kota Kabupaten Berbek perlu pindah ke Ngandjoek yang dekat dengan jalur kereta api, strategis dan lebih berhubungan dan berkomunikasi dengan dunia luar.
Dalam Encyclopedia tersebut hanya disebut waktu keoindahan angka tahun 1883, namun angka ini agak disangsikan. Dalam foto dokumentasi “Peringatan 50 Tahun Berdirinya Kota Ngandjoek Yang diadakan di Onderdistrixk Prambon”, ditemukan angka 1880 – 1930. Hal ini berarti :
Peringatan HUT Kabupaten Ngandjoek yang ke-50 diadakan pada tahun 1930.
peringatan dilaksanakan pada saaat RMAA.Sosrohadikoesoemo (Gusti Djito) masih menjabat sebagai Regenty (Bupati) Ngandjoek
Tahun 1880 adalah tahun suatu kejadian yang diperingati yaitu mulainya kedudukan ibu kota Kabupaten Berbek pindah ke Ngandjoek
Pada tahun1880 yang menjabat sebagai Bupati (Regent) Berbek adalah KRMT.Sosrokoesoemo III.
KRMT.Sosrokoesoemo III adalah bupati di Berbek yang terakhir dan sebagai bupati yang pertama di kota Nganjuk
Dari dua Sumber dokumentasi tersebut, penulis memberanikan diri mengajukan hipotesa sebagai berikut :
tahun 1880 merupakan tahun boyongan dati Berbek masuk Rumah Dinas Bupati di Ngandjoek
Oleh karena kepindahan tersebut tidak hanya boyongan tempet tinggal bagi pejabat bupati saja, tetapi diikuti dengan kepindahan seluruhperangkat pemerintahan pada waktu itu, tentunya melalui proses yang cukup lama, dan rupanya baru berakhir pada tahun 1883.
Berdasarkan asumsi sementara tersebut, ternyata masih ada teka-teki yang belum dapat terkuak sampai saat ini, yaitu kapan waktu yang sebenarnya bagi proses boyongan tersebut. Untuk asumsi yang pertama (item a) ada sedikit petunjuk sebagi berikut:
Ibu R.Ayu Moestadjab (ahlli waris KRMAA Sosrohadikoesoemo, jatuh cucu), dalam suratnya kepada Adi Soesanto, Kasubak Humas Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Nganjuk, pada tanggal 2 Maret 1987, menjelaskan bahwa HUT Kabupaten Nganjuk pada tahun 1930 jatuh pada hari Kemis Legi bulan Agustus.
Hari Kemis Legi bulan Agustus1930, setelah dicari melalui patokan dalam “Melacak Hari Lahir Plus Hari Pasaran”, ternyata jatuh pada tanggal 21 Agustus 1930.
Apabila penjelasan dari Ibu R.Ayu Mustadjab tersebut benar, maka boyongan dari Berbek masukRumah Dinas Bupati Nganjoek terjadi pada tanggal 21 Agustus 1880 atau jatuh pada Sabtu Kliwon.
Pertanyaan berikutnya adalah mengenai rute mana yang dipergunakan dalam melakukan proses boyongan tersebut. Satu hal yang perlu diingat, bahwa pola piker jaman leluhur dulu senantiasa memperhatikan hitungan atau patokan dalam ajaran Kejawen.
2. Nganjuk Sebagai Ibukota
Dikemukakan bahwa pada tahun 1880 Bupati Berbek telah bertempat tinggal di Nganjuk, sedangkan perangkat pemerintahan lainya diperkirakan pada tahun 1883 sudah selesai menyusul pindah ke kota Nganjuk. Berdasarkan kenyataan ini, apakah mungkin terdapat suatu ketetapan resmi yang menyatakan Kota Nganjuk sebagai Ibukota Kabupaten? Dalam Statsblad van Nederlansch Indie No.107, dikeluarkan tanggal 4 Juni 1885, memuat SK Gubernur Jendral dari Nederlandsch Indie tanggal 30 Mei 1885 No 4/C tentang batas-batas Ibukota Toeloeng Ahoeng, Trenggalek, Ngandjoek dan Kertosono, antara lain disebutkan:
“III tot hoafdplaats Ngandjoek, afdeling Berbek, de navalgende Wijken en kampongs :
de Chineeshe Wijk
de kampong Mangoendikaran
de kampong Pajaman
de kampong Kaoeman
Dengan ditetapkanya Kota Nganjuk yang meliputi kampung dan desa tersebut di atas menjadi ibukota Kabupaten Nganjuk, maka secara resmi pusat pemerintahan Kabupaten Berbek berkedudukan di Nganjuk.
KAPAN HARI JADI NGANJUK?
Meskipun peringatan Hari Jadi Kabupaten Nganjuk telah diselenggarakan untuk kali yang ke 11 sejak ditetapkan pada tahun 1993, ternyata masih banyak warga masyarakat Nganjuk yang belum memahami dan kurang menyadari arti pentingnya acara tersebut. Itu terbukti dari menurun dan kurangnya greget dalam menyambut datangnya peristiwa bersejarah setiap tanggal 10 April. Sementara itu masih banyak ditemui adanya pandangan yang berbeda mengenai waktu/tanggal dan alasan dalam menetapkan Hari Jadi Kabupaten Nganjuk. Pada spanduk masih banyak terbaca adanya perbedaan seperti : Hari Jadi Kota Nganjuk, Hari Jadi Nganjuk dan Hari Jadi Kabupaten Nganjuk.
Beberapa versi pandangan yang berkembang adalah, sebagai berikut :
A. Kelompok pandang pertama :
Sebagian warga Nganjuk berpendapat untuk menetapkan Hari Jadi Kabupaten Nganjuk seharusnya berdasarkan waktu kapan di daerah ini mulai ada suatu lembaga pemerintahan yang berstatus : Kabupaten. Pikiran tersebut ada benarnya, oleh karena yang dicari memang saat kapan lahirnya institusi yang bernama : Kabupaten Nganjuk. Namun demikian kenyataan menunjukkan bahwa banyak sekali kesulitan untuk menentukan waktu yang diinginkan karena sangat minimnya bukti yang memiliki akurasi tinggi dan dapat dipertanggungjawabkan. Disamping itu banyak hal yang dapat diperdebatkan seperti : Kabupaten Nganjuk yang mana, sebelum atau sesudah Indonesia merdeka; bagaimana dengan keberadaan Kadipaten Pace (1568) atau Kadipaten Pace dan Kadipaten Kertosono setelah adanya perjanjian Gianti 1755; bagaimana pula dengan Kabupaten Berbek? Selanjutnya masih perlu pula dipertanyakan keberadaan Kabupaten Nganjuk (1811) ketika di Nganjuk terdapat 4 (empat) kabupaten yaitu: Berbek, Godean, Nganjuk dan Kertosono; bagaimana pula status Kabupaten Nganjuk pada 1830-1852 yaitu setelah Kabupaten Godean bergabung kembali dengan Kabupaten Berbek (1830). Sementara itu sebutan Kabupaten Nganjuk pernah tidak dipakai yaitu ketika menjelang tahun 1852 terjadi penggabungan wilayah Nganjuk dan Kertosono dengan Kabupaten Berbek menjadi Kabupaten Berbek.
Demikian banyak kesulitan dan kendala yang dihadapi sehingga tidak pas dan kurang dapat apabila Hari Jadi Kabupaten Nganjuk ditentukan berdasarkan waktu kapan lembaga pemerintahan tersebut mulai ada.
B. Kelompok pandang kedua :
Mereka yang berpendapat penetapan Hari Jadi Kabupaten Nganjuk seharusnya berdasarkan waktu sejak kapan : Nganjuk mulai dikenal sebagai nama daerah ini. Apabila pendapat tersebut dijadikan acuan, dapat dipastikan akan menemui kesulitan besar dalam menentukan saat yang tepat bagi hari lahirnya daerah ini. Mengapa demikian? Oleh karena, kata Nganjuk bukanlah merupakan kata baku/asli akan tetapi suatu kata yang merupakan hasil proses perubahan morphologi bahasa, yang menjadi ciri khas dan struktural bahasa Jawa, yaitu kata Anjuk setelah mendapat tambahan huruf sengau “Ng” berubah menjadi Nganjuk.
C. Kelompok pandang ketiga :
Sebagaimana diketahui bahwa sebelum lokasi pusat pemerintahan Kabupaten Nganjuk ada pada posisi seperti sekarang ini, pusat pemerintahan ada di kota Berbek. Artinya telah terjadi suatu proses perpindahan ibukota Kabupaten dari Berbek menuju kota Nganjuk, yaitu pada hari Sabtu Kliwon tanggal 21 Agustus 1880. Hari dan tanggal itulah yang dianggap oleh sebagian warga masyarakat Nganjuk sebagai waktu yang tepat untuk dijadikan Hari Jadi Kabupaten Nganjuk.
Pendapat tersebut diatas kiranya kurang tepat. Peristiwa perpindhaan ibukota kabupaten tidak mempunyai landasan dan dasar yang kuat untuk menetapkan hari lahirnya suatu daerah. Berkaitan dengan hal tersebut hendaknya diketahui bahwa meskipun pusat pemeirntahan sudah berada di kota Nganjuk, namun nama lembaga pemerintahan secara formal masih tetap disebut : Kabupaten Berbek Regentschap Berbek).
D. Kelompok pandang keempat :
Peristiwa tanggal 21 Agustus 1880 dipandang oleh sekelompok orang hanya merupakan boyongan rumah dinas Bupati. Kota Nganjuk benar-benar menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Berbek baru terjadi tanggal 30 Mei 1885, yaitu ketika Kota Nganjuk ditetapkan sebagai Ibukota (Hoofdplaats).
Menurut kelompok ini, tanggal 30 Mei 1885 merupakan saat yang tepat untuk dijadikan Hari Jadi Kabupaten Nganjuk, namun menurut sekelompok warga Nganjuk yang lain tanggal tersebut lebih sesuai dijadikan Hari Jadi Kota Nganjuk.
E. Kelompok pandang kelima :
Bagian terbesar warga masyarakat Nganjuk berpendapat bahwa saat ditetapkannya Anuk Ladang sebagai Sima Swantatra yaitu daerah berstatus otonom atau dibebaskan dari pungutan pajak (daerah perdikan) adalah waktu yang tepat dan pas untuk ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Nganjuk, yaitu tanggal 10 April 937 M. Ketentuan tersebut diatas terdapat pada Prasasti Candi Lor atau Prasasti Anjuk Ladang yang dikeluarkan Sri Maharaja Pu Sindok Sri Isyanawikrama Dharmmotunggadewa. Kalimat pertama prasasti berbunyi : “Swasti sakawarsatita 859 caitramasa tithi dwadasikrespanapaksa” yang artinya Selamat tahun Saka telah berlalu 859 tahun pertengahan bulan Caitra tanggal 12 atau bertepatan dengan tanggal 10 April 937 Masehi.
Beberapa versi pandangan yang berkembang adalah, sebagai berikut :
A. Kelompok pandang pertama :
Sebagian warga Nganjuk berpendapat untuk menetapkan Hari Jadi Kabupaten Nganjuk seharusnya berdasarkan waktu kapan di daerah ini mulai ada suatu lembaga pemerintahan yang berstatus : Kabupaten. Pikiran tersebut ada benarnya, oleh karena yang dicari memang saat kapan lahirnya institusi yang bernama : Kabupaten Nganjuk. Namun demikian kenyataan menunjukkan bahwa banyak sekali kesulitan untuk menentukan waktu yang diinginkan karena sangat minimnya bukti yang memiliki akurasi tinggi dan dapat dipertanggungjawabkan. Disamping itu banyak hal yang dapat diperdebatkan seperti : Kabupaten Nganjuk yang mana, sebelum atau sesudah Indonesia merdeka; bagaimana dengan keberadaan Kadipaten Pace (1568) atau Kadipaten Pace dan Kadipaten Kertosono setelah adanya perjanjian Gianti 1755; bagaimana pula dengan Kabupaten Berbek? Selanjutnya masih perlu pula dipertanyakan keberadaan Kabupaten Nganjuk (1811) ketika di Nganjuk terdapat 4 (empat) kabupaten yaitu: Berbek, Godean, Nganjuk dan Kertosono; bagaimana pula status Kabupaten Nganjuk pada 1830-1852 yaitu setelah Kabupaten Godean bergabung kembali dengan Kabupaten Berbek (1830). Sementara itu sebutan Kabupaten Nganjuk pernah tidak dipakai yaitu ketika menjelang tahun 1852 terjadi penggabungan wilayah Nganjuk dan Kertosono dengan Kabupaten Berbek menjadi Kabupaten Berbek.
Demikian banyak kesulitan dan kendala yang dihadapi sehingga tidak pas dan kurang dapat apabila Hari Jadi Kabupaten Nganjuk ditentukan berdasarkan waktu kapan lembaga pemerintahan tersebut mulai ada.
B. Kelompok pandang kedua :
Mereka yang berpendapat penetapan Hari Jadi Kabupaten Nganjuk seharusnya berdasarkan waktu sejak kapan : Nganjuk mulai dikenal sebagai nama daerah ini. Apabila pendapat tersebut dijadikan acuan, dapat dipastikan akan menemui kesulitan besar dalam menentukan saat yang tepat bagi hari lahirnya daerah ini. Mengapa demikian? Oleh karena, kata Nganjuk bukanlah merupakan kata baku/asli akan tetapi suatu kata yang merupakan hasil proses perubahan morphologi bahasa, yang menjadi ciri khas dan struktural bahasa Jawa, yaitu kata Anjuk setelah mendapat tambahan huruf sengau “Ng” berubah menjadi Nganjuk.
C. Kelompok pandang ketiga :
Sebagaimana diketahui bahwa sebelum lokasi pusat pemerintahan Kabupaten Nganjuk ada pada posisi seperti sekarang ini, pusat pemerintahan ada di kota Berbek. Artinya telah terjadi suatu proses perpindahan ibukota Kabupaten dari Berbek menuju kota Nganjuk, yaitu pada hari Sabtu Kliwon tanggal 21 Agustus 1880. Hari dan tanggal itulah yang dianggap oleh sebagian warga masyarakat Nganjuk sebagai waktu yang tepat untuk dijadikan Hari Jadi Kabupaten Nganjuk.
Pendapat tersebut diatas kiranya kurang tepat. Peristiwa perpindhaan ibukota kabupaten tidak mempunyai landasan dan dasar yang kuat untuk menetapkan hari lahirnya suatu daerah. Berkaitan dengan hal tersebut hendaknya diketahui bahwa meskipun pusat pemeirntahan sudah berada di kota Nganjuk, namun nama lembaga pemerintahan secara formal masih tetap disebut : Kabupaten Berbek Regentschap Berbek).
D. Kelompok pandang keempat :
Peristiwa tanggal 21 Agustus 1880 dipandang oleh sekelompok orang hanya merupakan boyongan rumah dinas Bupati. Kota Nganjuk benar-benar menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Berbek baru terjadi tanggal 30 Mei 1885, yaitu ketika Kota Nganjuk ditetapkan sebagai Ibukota (Hoofdplaats).
Menurut kelompok ini, tanggal 30 Mei 1885 merupakan saat yang tepat untuk dijadikan Hari Jadi Kabupaten Nganjuk, namun menurut sekelompok warga Nganjuk yang lain tanggal tersebut lebih sesuai dijadikan Hari Jadi Kota Nganjuk.
E. Kelompok pandang kelima :
Bagian terbesar warga masyarakat Nganjuk berpendapat bahwa saat ditetapkannya Anuk Ladang sebagai Sima Swantatra yaitu daerah berstatus otonom atau dibebaskan dari pungutan pajak (daerah perdikan) adalah waktu yang tepat dan pas untuk ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Nganjuk, yaitu tanggal 10 April 937 M. Ketentuan tersebut diatas terdapat pada Prasasti Candi Lor atau Prasasti Anjuk Ladang yang dikeluarkan Sri Maharaja Pu Sindok Sri Isyanawikrama Dharmmotunggadewa. Kalimat pertama prasasti berbunyi : “Swasti sakawarsatita 859 caitramasa tithi dwadasikrespanapaksa” yang artinya Selamat tahun Saka telah berlalu 859 tahun pertengahan bulan Caitra tanggal 12 atau bertepatan dengan tanggal 10 April 937 Masehi.
Menetapkan hari jadi suatu daerah bukanlah pekerjaan yang mudah. Kadangkala setelah bertahun-tahun baru dapat ditentukan suatu waktu (tanggal) yang tepat atau pas. Banyak faktor yang harus dipertimbangkan, data dan fakta harus dihimpun dan diteliti dengan cermat, disamping adanya alasan yang kuat dan mendasar terhadap pilihan waktu yang diputuskan. Sebagaimana diutarakan didepan, keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara : historis, politis, yuridis, paedagogis dan ilmiah sekaligus memiliki nilai moral dan kejiwaan yang tinggi dan luhur.
Nilai Historis, artinya peristiwa sejarah yang melatar belakangi tidak saja menjawab pertanyaan : apa, siapa, dimana dan kapan tetapi juga mengenai bagaimana dan mengapa peristiwa itu terjadi; Nilai Politis, artinya keputusan yang diambil mempunyai tujuan yang positif dan menguntungkan bagi proses perkembangan/pertumbuhan masyarakat dan daerah yang bersangkutan; Sedang nilai Yuridis, dimaksudkan bahwa setelah melalui proses pertimbangan yang mantap, mencermati data dan fakta yang berkenaan serta memperhatikan pendapat/pandangan yang berkembang akhirnya ditetapkan dalam suatu keputusan oleh institusi yang berwenang, sesuai prosedur dan tertib hukum yang berlaku;
Paedagogis , bahwa ketetapan yang telah diputuskan dapat dimanfaatkan seluas-luasnya untuk kepentingan pendidikan dan mampu memotivasi msayarakat dan daerah untuk mencapai kemajuan; Nilai Ilmiah, mengandung pengertian bahwa keputusan yang diambil harus tidak terlepas dari disiplin ilmu yang berkenaan dengan memperhatikan metodologi dan teori-teori ilmiah serta proses analisa yang matang seperti antara lain melalui seminar dan diskusi yang intensif. Pendek kata keputusan yang ditetapkan harus benar-benar merupakan kebenaran (objektivitas) sejarah yang bernilai filosofis tinggi; akhirnya :
Memiliki nilai moral dan kejiwaan yang tingi dapat dimaknai bahwa dibalik peristiwa sejarah yang melatarbelakangi terdapat unsur jatidiri (jiwa dan semangat) yang luhur dan mampu menjadi motor penggerak bagi masyarakat dan daerah untuk berjuang dan bekerja lebih giat dalam mencapai kesejahteraan hidupnya.
A. Pedoman dasar dalam menetapkan pilihan atas waktu/tanggal Hari Jadi Kabupaten Nganjuk.Yang menjadi pertanyaan ialah : apa dasar, ukuran atau alasan yang dipakai menentukan pilihan terhadap simpul sejarah dimaksud untuk menetapkan tanggal Hari Jadi Kabupaten Nganjuk. Marilah kita perhatikan apa yang dikatakan para tokoh/pakar sejarah sebagai berikut :
Drs.Soetrisno R berpendapat ada 3 (tiga) aspek yang melatar belakangi pertimbangan untuk menetapkan Hari Jadi Kabupaten Nganjuk yaitu :
Aspek kesatuan; 2. Aspek nilai-nilai sejarah yang terkandung; 3. aspek kredibilitas dan akurasi sumber;
Sementara M.Habib Mustopo mengemukakan adanya 5 (lima) dasar penentuan pilihan Hari Jadi Kaupaten Nganjuk yaitu :
Harus ada bukti tertulis paling tua dimana terdapat hubungan historis arkeologis dengan toponimi Nganjuk; 2.Sumber tertulis berupa prasasti tertua; 3.Ada sumber tertulis dan lisan yang berisi ingatan kolektif penduduk Kabupaten Nganjuk yang dilestarikan dalam bentuk mitos/legenda; 4.Terdapat bukti berupa bangunan monumen, patung atau artefak lain; 5.Sumber berupa dokumen tertua menyangkut asal-usul pemerintah daerah Kabupaten Nganjuk.
Seorang pakar sejarah dari Universitas Gajah Mada Prof.DR.Sartono Kartodirdjo menyampaikan 4 (empat) hal sebagai alternatif pilihan untuk ditetapkan sebagai Hari Ulang Tahun Kabupaten Nganjuk, yaitu :
Tanggal tertua menurut prasasti tertua yang diketemukan didaerah Nganjuk;
Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda dari pengangkatan Bupati pertama dalam abad ke 19. Yang ke-3.Surat Keputusan Bupati/Kabupaten yang pertama kali dikeluarkan oleh Pemerintah Repulik Indonesia; 4.Suatu hari penting yang bertalian dengan terjadinya peristiwa penting, antara lain pemberontakan oleh Kyai Dermodjojo pada tahun 1907.
Dari ketiga tokoh/pakar sejarah tersebut diatas terdapat satu kesamaan pendapat yang merupakan point penting dalam menentukan Hari Jadi atau Ulang Tahun Kabupaten Nganjuk, yaitu faktor paling tua, baik menyangkut sumber tertulis berupa prasasti atau dokumen maupun tanggal tertua yang berhubungan dengan keberadaan daerah tersebut. Unsur tertua inilah akhirnya disepakati untuk dipakai sebagai dasar utama dalam menetapkan pilhan atas Hari Jadi Kabupaten Nganjuk.
B. Seminar Hari Jadi Kabupaten Nganjuk
Meskipun telah disepakati bahwa unsur tertua merupakan dasar utama penentuan Hari Jadi Kabupaten Nganjuk namun pelaksanaannya tidaklah langsung diputuskan. Hal tersebut perlu dilakukan melalui proses eminar.
Pada tanggal 21 Agustus 1993, Pemerintah Daerah Kabupaten Nganjuk telah mengadakan Semianr Hari Jadi Kabupaten Nganjuk dengan maksud dan tujuan antara lain : 1. Menggali kebenaran ilmiah yang dapat diterima masyarakat secara luas tentang penetapan Hari Jadi Kabupaten Nganjuk; 2. Dalam menetapkan Hari Jadi atau Hari Kelahiran Nganjuk harus dengan mempergunakan proses, prosedur dan metodologi ilmiah sehingga produk yang dihasilkan forum seminar benar-benar memiliki akurasi dan kredibilitas yang tinggi dan dapat dipertanggungjawabkan.
Seminar pada tanggal 21 Agustus 1993 dilaksanakan sehari dan dihadiri para sesepuh daerah, mantan Bupati Nganjuk, Muspida dan Ketua DPRD Nganjuk, tokoh masyarakat, cendekiawan dan para pakar sejarah. Dalam seminar telah dibahas berbagai hal seperti : 1.Pengertian Hari Jadi Nganjuk dan Hari Jadi Kabupaten Nganjuk. Dalam hal ini terdapat perbedaan pengertian yaitu Nganjuk sebagai nama wilayah dan sebagai lembaga pemerintahan; 2.Asal muasal nama Nganjuk, Nganjuk pada zaman kerajaan Hndu, jaman kerajaan Islam, jaman penjajahan atau Nganjuk setelah Indonesia merdeka; 3.Simpul-simpul waktu yang dipertimbangkan menjadi pilihan antara lain :
a) 10 April 937 M, yaitu tanggal tertua dalam prasasti tertua yang ditemukan di halaman Candi Lor Desa Candirejo Kecamatan Loceret. Melalui prasasti inilah mulai dikenal nama Anjuk Ladang, dimana dalam proses perkembangan selanjutnya berubah menjadi Nganjuk.
b) 25 Nopember 1852, suatu tanggal yang menandai bergabungnya Kabupaten Nganjuk dan Kabupaten Kertosono dengan Kabupaten Berbek. Sejak saat itu di Nganjuk hanya dikenal adanya 1 (satu) kabupaten yaitu Kabupaten Berbek.
c) 10 April 1878, adalah tanggal yang terdapat dalam Surat Keputusan pengangkatan Bupati Berbek. : KRMT Sosrokoesoemo III. Beliau merupakan pejabat Bupati terakhir di Berbek dan merupakan Bupati Berbek di Nganjuk pertama.
d) 21 Agustus 1880, pada waktu ini terjadi suatu peristiwa besar dalam proses perkembangan kabupaten di Nganjuk, yaitu boyongan pusat pemerintahan dari Berbek menuju Nganjuk. Sejak saat itu Rumah Dinas Bupati berada ditempat seperti sekarang ini.
e) 30 Mei 1885, kota Nganjuk yang meliputi : kampung Cina, desa Mangundikaran, desa Payaman dan desa Kauman ditetapkan menjadi ibukota Kaupaten Berbek. Mengenai perubahan nama dari : Kabupaten Berbek menajdi Kabupaten Nganjuk belum dapat ditentukan wkatunya, namun diperkirakan terjadi pada pertengahan masa pemerintahan KRMT Sosro Hadikoesoemo yang menjadi Bupati sejak tanggal 2 Maret 1901.
Setelah melalui pembahasan mendalam dan intensif, akhirnya seminar menarik kesimpulan bahwa Hari Jadi Nganjuk adalah tanggal 10 April 937 M, sesuai dengan waktu yang terdapat dalam prasasti tertua yaitu Prasasti Candi Lor atau Prasasti Anjuk Ladang. Dasar pertimbangan lain atas kesimpulan tersebut adalah :
1. bahwa dari prasasti Candi Lor dapat diungkap betapa besarnya contribusi yang diberikan rakyat Anjuk Ladang kepada Pu Sindok dalam memenangkan perang dan berdirinya dynasti Isyana di Jawa Timur.
Sejak saat itu nama Anjuk Ladang mulai dikenal secara luas;
2. terungkap pula bahwa Anjuk Ladang sebagai cikal bakal Nganjuk memperoleh penghargaan sebagai Sima Swatantra yaitu daerah yang mempunyai status otonom;
3. bahwa dari latar belakang sejarah yang mendorong munculnya nama Anjuk Ladang dapat diungkap jatidiri (jiwa dan semangat) rakyat Nganjuk yang ternyata mempunyai bobot moral dan kejiwaan sangat tinggi dan luhur;
4. bukti/sumber sejarah tertulis benar-banar mempunyai nilai kredibilitas dan akurasi tinggi. Sampai saat ini prasasti Candi Lor tersimpan rapi di Museum Nasionall di Jakarta.
Berdasarkan musyawarah antara Pemrasaran dan Pembahas, agar apa yang telah dicapai dalam seminar dapat disarikan sehingga diperoleh satu kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan segi objektivitas dan derajat ilmiahnya, dibentuk Tim Perumus Hasil Seminar Hari Jadi Nganjuk. Dalam keputusannya, Tim Perumus telah menetapkan :
1. Hari Jadi Nganjuk adalah tanggal 12 bulan Caitra tahun 859 Saka atau tanggal 10 April 937 Masehi;
2. Mengusulkan kepada Bupati Kepala Daerah Tk II Nganjuk agar Hari Jadi Nganjuk tanggal 10 April 937 M ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Nganjuk.
Demikian setelah melalui seminar yang diadakan pada tanggal 21 Agustus 1993 akhirnya dapat ditentukan dengan tepat dan pas Hari Jadi Nganjuk yang kemudian ditetapkan menjadi Hari Jadi Kabupaten Nganjuk.
Nilai Historis, artinya peristiwa sejarah yang melatar belakangi tidak saja menjawab pertanyaan : apa, siapa, dimana dan kapan tetapi juga mengenai bagaimana dan mengapa peristiwa itu terjadi; Nilai Politis, artinya keputusan yang diambil mempunyai tujuan yang positif dan menguntungkan bagi proses perkembangan/pertumbuhan masyarakat dan daerah yang bersangkutan; Sedang nilai Yuridis, dimaksudkan bahwa setelah melalui proses pertimbangan yang mantap, mencermati data dan fakta yang berkenaan serta memperhatikan pendapat/pandangan yang berkembang akhirnya ditetapkan dalam suatu keputusan oleh institusi yang berwenang, sesuai prosedur dan tertib hukum yang berlaku;
Paedagogis , bahwa ketetapan yang telah diputuskan dapat dimanfaatkan seluas-luasnya untuk kepentingan pendidikan dan mampu memotivasi msayarakat dan daerah untuk mencapai kemajuan; Nilai Ilmiah, mengandung pengertian bahwa keputusan yang diambil harus tidak terlepas dari disiplin ilmu yang berkenaan dengan memperhatikan metodologi dan teori-teori ilmiah serta proses analisa yang matang seperti antara lain melalui seminar dan diskusi yang intensif. Pendek kata keputusan yang ditetapkan harus benar-benar merupakan kebenaran (objektivitas) sejarah yang bernilai filosofis tinggi; akhirnya :
Memiliki nilai moral dan kejiwaan yang tingi dapat dimaknai bahwa dibalik peristiwa sejarah yang melatarbelakangi terdapat unsur jatidiri (jiwa dan semangat) yang luhur dan mampu menjadi motor penggerak bagi masyarakat dan daerah untuk berjuang dan bekerja lebih giat dalam mencapai kesejahteraan hidupnya.
A. Pedoman dasar dalam menetapkan pilihan atas waktu/tanggal Hari Jadi Kabupaten Nganjuk.Yang menjadi pertanyaan ialah : apa dasar, ukuran atau alasan yang dipakai menentukan pilihan terhadap simpul sejarah dimaksud untuk menetapkan tanggal Hari Jadi Kabupaten Nganjuk. Marilah kita perhatikan apa yang dikatakan para tokoh/pakar sejarah sebagai berikut :
Drs.Soetrisno R berpendapat ada 3 (tiga) aspek yang melatar belakangi pertimbangan untuk menetapkan Hari Jadi Kabupaten Nganjuk yaitu :
Aspek kesatuan; 2. Aspek nilai-nilai sejarah yang terkandung; 3. aspek kredibilitas dan akurasi sumber;
Sementara M.Habib Mustopo mengemukakan adanya 5 (lima) dasar penentuan pilihan Hari Jadi Kaupaten Nganjuk yaitu :
Harus ada bukti tertulis paling tua dimana terdapat hubungan historis arkeologis dengan toponimi Nganjuk; 2.Sumber tertulis berupa prasasti tertua; 3.Ada sumber tertulis dan lisan yang berisi ingatan kolektif penduduk Kabupaten Nganjuk yang dilestarikan dalam bentuk mitos/legenda; 4.Terdapat bukti berupa bangunan monumen, patung atau artefak lain; 5.Sumber berupa dokumen tertua menyangkut asal-usul pemerintah daerah Kabupaten Nganjuk.
Seorang pakar sejarah dari Universitas Gajah Mada Prof.DR.Sartono Kartodirdjo menyampaikan 4 (empat) hal sebagai alternatif pilihan untuk ditetapkan sebagai Hari Ulang Tahun Kabupaten Nganjuk, yaitu :
Tanggal tertua menurut prasasti tertua yang diketemukan didaerah Nganjuk;
Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda dari pengangkatan Bupati pertama dalam abad ke 19. Yang ke-3.Surat Keputusan Bupati/Kabupaten yang pertama kali dikeluarkan oleh Pemerintah Repulik Indonesia; 4.Suatu hari penting yang bertalian dengan terjadinya peristiwa penting, antara lain pemberontakan oleh Kyai Dermodjojo pada tahun 1907.
Dari ketiga tokoh/pakar sejarah tersebut diatas terdapat satu kesamaan pendapat yang merupakan point penting dalam menentukan Hari Jadi atau Ulang Tahun Kabupaten Nganjuk, yaitu faktor paling tua, baik menyangkut sumber tertulis berupa prasasti atau dokumen maupun tanggal tertua yang berhubungan dengan keberadaan daerah tersebut. Unsur tertua inilah akhirnya disepakati untuk dipakai sebagai dasar utama dalam menetapkan pilhan atas Hari Jadi Kabupaten Nganjuk.
B. Seminar Hari Jadi Kabupaten Nganjuk
Meskipun telah disepakati bahwa unsur tertua merupakan dasar utama penentuan Hari Jadi Kabupaten Nganjuk namun pelaksanaannya tidaklah langsung diputuskan. Hal tersebut perlu dilakukan melalui proses eminar.
Pada tanggal 21 Agustus 1993, Pemerintah Daerah Kabupaten Nganjuk telah mengadakan Semianr Hari Jadi Kabupaten Nganjuk dengan maksud dan tujuan antara lain : 1. Menggali kebenaran ilmiah yang dapat diterima masyarakat secara luas tentang penetapan Hari Jadi Kabupaten Nganjuk; 2. Dalam menetapkan Hari Jadi atau Hari Kelahiran Nganjuk harus dengan mempergunakan proses, prosedur dan metodologi ilmiah sehingga produk yang dihasilkan forum seminar benar-benar memiliki akurasi dan kredibilitas yang tinggi dan dapat dipertanggungjawabkan.
Seminar pada tanggal 21 Agustus 1993 dilaksanakan sehari dan dihadiri para sesepuh daerah, mantan Bupati Nganjuk, Muspida dan Ketua DPRD Nganjuk, tokoh masyarakat, cendekiawan dan para pakar sejarah. Dalam seminar telah dibahas berbagai hal seperti : 1.Pengertian Hari Jadi Nganjuk dan Hari Jadi Kabupaten Nganjuk. Dalam hal ini terdapat perbedaan pengertian yaitu Nganjuk sebagai nama wilayah dan sebagai lembaga pemerintahan; 2.Asal muasal nama Nganjuk, Nganjuk pada zaman kerajaan Hndu, jaman kerajaan Islam, jaman penjajahan atau Nganjuk setelah Indonesia merdeka; 3.Simpul-simpul waktu yang dipertimbangkan menjadi pilihan antara lain :
a) 10 April 937 M, yaitu tanggal tertua dalam prasasti tertua yang ditemukan di halaman Candi Lor Desa Candirejo Kecamatan Loceret. Melalui prasasti inilah mulai dikenal nama Anjuk Ladang, dimana dalam proses perkembangan selanjutnya berubah menjadi Nganjuk.
b) 25 Nopember 1852, suatu tanggal yang menandai bergabungnya Kabupaten Nganjuk dan Kabupaten Kertosono dengan Kabupaten Berbek. Sejak saat itu di Nganjuk hanya dikenal adanya 1 (satu) kabupaten yaitu Kabupaten Berbek.
c) 10 April 1878, adalah tanggal yang terdapat dalam Surat Keputusan pengangkatan Bupati Berbek. : KRMT Sosrokoesoemo III. Beliau merupakan pejabat Bupati terakhir di Berbek dan merupakan Bupati Berbek di Nganjuk pertama.
d) 21 Agustus 1880, pada waktu ini terjadi suatu peristiwa besar dalam proses perkembangan kabupaten di Nganjuk, yaitu boyongan pusat pemerintahan dari Berbek menuju Nganjuk. Sejak saat itu Rumah Dinas Bupati berada ditempat seperti sekarang ini.
e) 30 Mei 1885, kota Nganjuk yang meliputi : kampung Cina, desa Mangundikaran, desa Payaman dan desa Kauman ditetapkan menjadi ibukota Kaupaten Berbek. Mengenai perubahan nama dari : Kabupaten Berbek menajdi Kabupaten Nganjuk belum dapat ditentukan wkatunya, namun diperkirakan terjadi pada pertengahan masa pemerintahan KRMT Sosro Hadikoesoemo yang menjadi Bupati sejak tanggal 2 Maret 1901.
Setelah melalui pembahasan mendalam dan intensif, akhirnya seminar menarik kesimpulan bahwa Hari Jadi Nganjuk adalah tanggal 10 April 937 M, sesuai dengan waktu yang terdapat dalam prasasti tertua yaitu Prasasti Candi Lor atau Prasasti Anjuk Ladang. Dasar pertimbangan lain atas kesimpulan tersebut adalah :
1. bahwa dari prasasti Candi Lor dapat diungkap betapa besarnya contribusi yang diberikan rakyat Anjuk Ladang kepada Pu Sindok dalam memenangkan perang dan berdirinya dynasti Isyana di Jawa Timur.
Sejak saat itu nama Anjuk Ladang mulai dikenal secara luas;
2. terungkap pula bahwa Anjuk Ladang sebagai cikal bakal Nganjuk memperoleh penghargaan sebagai Sima Swatantra yaitu daerah yang mempunyai status otonom;
3. bahwa dari latar belakang sejarah yang mendorong munculnya nama Anjuk Ladang dapat diungkap jatidiri (jiwa dan semangat) rakyat Nganjuk yang ternyata mempunyai bobot moral dan kejiwaan sangat tinggi dan luhur;
4. bukti/sumber sejarah tertulis benar-banar mempunyai nilai kredibilitas dan akurasi tinggi. Sampai saat ini prasasti Candi Lor tersimpan rapi di Museum Nasionall di Jakarta.
Berdasarkan musyawarah antara Pemrasaran dan Pembahas, agar apa yang telah dicapai dalam seminar dapat disarikan sehingga diperoleh satu kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan segi objektivitas dan derajat ilmiahnya, dibentuk Tim Perumus Hasil Seminar Hari Jadi Nganjuk. Dalam keputusannya, Tim Perumus telah menetapkan :
1. Hari Jadi Nganjuk adalah tanggal 12 bulan Caitra tahun 859 Saka atau tanggal 10 April 937 Masehi;
2. Mengusulkan kepada Bupati Kepala Daerah Tk II Nganjuk agar Hari Jadi Nganjuk tanggal 10 April 937 M ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Nganjuk.
Demikian setelah melalui seminar yang diadakan pada tanggal 21 Agustus 1993 akhirnya dapat ditentukan dengan tepat dan pas Hari Jadi Nganjuk yang kemudian ditetapkan menjadi Hari Jadi Kabupaten Nganjuk.
C. Penetapan Hari Jadi Nganjuk menjadi Hari Jadi Kabupaten Nganjuk.
Masih terdapat satu pertanyaan yang perlu dijelaskan yaitu tentang penetapan Hari Jadi Nganjuk menjadi Hari Jadi Kabupaten Nganjuk. Banyak warga masyarakat yang kurang mengerti dan bertanya apa latar belakang perihal tersebut dan kemungkinan besar inilah yang menimbulkan kontroversi selama ini.
Sebagaimana diketahui bahwa sejak semula dalam seminar telah diperdebatkan, yang dicari Hari Jadi Nganjuk atau Hari Jadi Kabupaten Nganjuk. Apabila peserta seminar terpancang pada upaya mencari Hari Jadi Kabupaten, yaitu lembaga pemerintahan yang mempunyai hak otonom, akan ditemui banyak kesulitan terutama menyangkut dokumen tertulis. Apalagi jika dipahami penentuannya didasarkan pada tanggal yang tercantum dalam serat kekancingan/besluit pengangkatan pejabat Bupati pertama maka hal itu akan sangat bersifat subjektif dan lebih berorientasi pada kekuasaan. Lebih daripada itu, besluit dari Pemeirntahan Hindia Belanda banyak yang kurang senang karena dikeluarkan oelh penjajah dan kurang sesuai dengan kondisi saat ini. Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu dicari alternatif yang paling tepat dan pas. Sebagai solusi atas problema tersebut kiranya dapat ditemukan pada Prasasti Candi Lor atau Prasasti Anjuk Ladang.
Prasati pada umumnya dikeluarkan oleh Raja dan berisi maklumat tentang :
1. pembentukan suatu negara/kota; 2.pemberian penghargaan/anugerah kepada daerah/rakyat yang telah berjasa; 3.pendirian suatu bangunan;
4.kewajiban/larangan atau bahkan berupa kutukan bagi yang melanggarnya;
Prasasti Candi Lor yang dikeluarkan oleh Sri Maharaja Pu Sindok Sri Isyanawikrama Dharmmotunggadewa pada intinya berupa anugerah kepada rakyat dan Sima Anjuk Ladang. Tidak ada satu peristiwa bersejarah di Nganjuk yang hebatnya melebihi peristiwa yang terjadi 8 (delapan) tahun sebelum Prasasti Candi Lor dikeluarkan. Terungkap dengan jelas keterlibatan seluruh potensi masyarakat Anjuk Ladang dalam membantu perjuangan Pu Sindok menghadapi serangan musuh negara Mataran Hindu yaitu tentara Melayu Sriwijaya. Berkat bantuan sepenuhnya dari Rakyat Anjuk Ladang, Pu Sindok memperoleh kemenangan gilang gemilang dan akhirnya menjadi Raja di Medang Kahuripan. Sebagai penghargaan kepada Rakyat Anjuk Ladang diberi anugerah berupa :
1. Sima Anjuk Ladang diberi ststus daerah otonom sehingga menjadi Sima Swatantra Anjuk Ladang; 2.Pembebasan dari kewajiban membayar pajak, penghasilan yang dipeoleh dogunakan sendiri untuk membangun daerah;
3. Bangunan suci untuk upacara kebhaktian yaitu Sri Jayamerta; 4. Bangunan tugu kemenangan Jayastambha.
Dari Prasasti Anjuk Ladang dapat diketahui ada 2 (dua) hal penting yang berkaitan dengan pokok masalah yaitu :
1. dikenalnya Anjuk Ladang, toponimi yang sangat dekat dengan ucapannya dengan Nganjuk;
2. pemberian status swatantra (otonom dan bebas pajak) kepada Sima Anjuk Ladang.
Kedua hal tersebut diatas merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan, ibarat sekeping mata uang, sehingga apabila kita berbicara tentang Anjuk Ladang berarti pula membicarkan Sima Swatantra Anjuk Ladang. Dalam hal ini perlu dijelaskan bahwa Anjuk Ladang adalah nama dari suatu wilayah setingkat Desa yaitu Sima, sedangkan Sima Swatantra Anjuk Ladang adalah institusi atau lembaga pemerintahannya. Mengacu pada pemikiran seperti tersebut diatas maka akhirnya Tim Perumus Hasil Seminar Hari Jadi Nganjuk menyimpulkan bahwa Hari Jadi Nganjuk adalah juga merupakan Hari Jadi Kabupaten Nganjuk.
Demikian setelah menimbang keputusan Tim Perumus Hasil Seminar Hari Jadi Nganjuk dan memperhatikan persetujuan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Nganjuk melalui Keputusan No 008/1993, tanggal 10 Desember 1993, Bupati Kepala Daerah Tingkat II Nganjuk mengeluarkan Keputusan Nomor 495/1993 tanggal 28 Desember 1993 yang memutuskan bahwa Hari Jadi Nganjuk tanggal 10 April 937 M dan selanjutnya ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Nganjuk.
Masih terdapat satu pertanyaan yang perlu dijelaskan yaitu tentang penetapan Hari Jadi Nganjuk menjadi Hari Jadi Kabupaten Nganjuk. Banyak warga masyarakat yang kurang mengerti dan bertanya apa latar belakang perihal tersebut dan kemungkinan besar inilah yang menimbulkan kontroversi selama ini.
Sebagaimana diketahui bahwa sejak semula dalam seminar telah diperdebatkan, yang dicari Hari Jadi Nganjuk atau Hari Jadi Kabupaten Nganjuk. Apabila peserta seminar terpancang pada upaya mencari Hari Jadi Kabupaten, yaitu lembaga pemerintahan yang mempunyai hak otonom, akan ditemui banyak kesulitan terutama menyangkut dokumen tertulis. Apalagi jika dipahami penentuannya didasarkan pada tanggal yang tercantum dalam serat kekancingan/besluit pengangkatan pejabat Bupati pertama maka hal itu akan sangat bersifat subjektif dan lebih berorientasi pada kekuasaan. Lebih daripada itu, besluit dari Pemeirntahan Hindia Belanda banyak yang kurang senang karena dikeluarkan oelh penjajah dan kurang sesuai dengan kondisi saat ini. Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu dicari alternatif yang paling tepat dan pas. Sebagai solusi atas problema tersebut kiranya dapat ditemukan pada Prasasti Candi Lor atau Prasasti Anjuk Ladang.
Prasati pada umumnya dikeluarkan oleh Raja dan berisi maklumat tentang :
1. pembentukan suatu negara/kota; 2.pemberian penghargaan/anugerah kepada daerah/rakyat yang telah berjasa; 3.pendirian suatu bangunan;
4.kewajiban/larangan atau bahkan berupa kutukan bagi yang melanggarnya;
Prasasti Candi Lor yang dikeluarkan oleh Sri Maharaja Pu Sindok Sri Isyanawikrama Dharmmotunggadewa pada intinya berupa anugerah kepada rakyat dan Sima Anjuk Ladang. Tidak ada satu peristiwa bersejarah di Nganjuk yang hebatnya melebihi peristiwa yang terjadi 8 (delapan) tahun sebelum Prasasti Candi Lor dikeluarkan. Terungkap dengan jelas keterlibatan seluruh potensi masyarakat Anjuk Ladang dalam membantu perjuangan Pu Sindok menghadapi serangan musuh negara Mataran Hindu yaitu tentara Melayu Sriwijaya. Berkat bantuan sepenuhnya dari Rakyat Anjuk Ladang, Pu Sindok memperoleh kemenangan gilang gemilang dan akhirnya menjadi Raja di Medang Kahuripan. Sebagai penghargaan kepada Rakyat Anjuk Ladang diberi anugerah berupa :
1. Sima Anjuk Ladang diberi ststus daerah otonom sehingga menjadi Sima Swatantra Anjuk Ladang; 2.Pembebasan dari kewajiban membayar pajak, penghasilan yang dipeoleh dogunakan sendiri untuk membangun daerah;
3. Bangunan suci untuk upacara kebhaktian yaitu Sri Jayamerta; 4. Bangunan tugu kemenangan Jayastambha.
Dari Prasasti Anjuk Ladang dapat diketahui ada 2 (dua) hal penting yang berkaitan dengan pokok masalah yaitu :
1. dikenalnya Anjuk Ladang, toponimi yang sangat dekat dengan ucapannya dengan Nganjuk;
2. pemberian status swatantra (otonom dan bebas pajak) kepada Sima Anjuk Ladang.
Kedua hal tersebut diatas merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan, ibarat sekeping mata uang, sehingga apabila kita berbicara tentang Anjuk Ladang berarti pula membicarkan Sima Swatantra Anjuk Ladang. Dalam hal ini perlu dijelaskan bahwa Anjuk Ladang adalah nama dari suatu wilayah setingkat Desa yaitu Sima, sedangkan Sima Swatantra Anjuk Ladang adalah institusi atau lembaga pemerintahannya. Mengacu pada pemikiran seperti tersebut diatas maka akhirnya Tim Perumus Hasil Seminar Hari Jadi Nganjuk menyimpulkan bahwa Hari Jadi Nganjuk adalah juga merupakan Hari Jadi Kabupaten Nganjuk.
Demikian setelah menimbang keputusan Tim Perumus Hasil Seminar Hari Jadi Nganjuk dan memperhatikan persetujuan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Nganjuk melalui Keputusan No 008/1993, tanggal 10 Desember 1993, Bupati Kepala Daerah Tingkat II Nganjuk mengeluarkan Keputusan Nomor 495/1993 tanggal 28 Desember 1993 yang memutuskan bahwa Hari Jadi Nganjuk tanggal 10 April 937 M dan selanjutnya ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Nganjuk.
www.nganjukkab.go.id
SEJARAH KOTA BATU
SEJARAH KOTA BATU
www.batukota.go.id
LEGENDA KOTA BATU
Sejak abad ke-10, wilayah Batu dan sekitarnya telah dikenal sebagai tempat peristirahatan bagi kalangan keluarga kerajaan, karena wilayah adalah daerah pegunungan dengan kesejukan udara yang nyaman, juga didukung oleh keindahan pemandangan alam sebagai ciri khas daerah pegunungan.
Pada waktu pemerintahan Raja Sindok , seorang petinggi Kerajaan bernama Mpu Supo diperintah Raja Sendok untuk membangun tempat peristirahatan keluarga kerajaan di pegunungan yang didekatnya terdapat mata air. Dengan upaya yang keras, akhirnya Mpu Supo menemukan suatu kawasan yang sekarang lebih dikenal sebagai kawasan Wisata Songgoriti.
Atas persetujuan Raja, Mpu Supo yang konon kabarnya juga sakti mandraguna itu mulai membangun kawasan Songgoriti sebagai tempat peristirahatan keluarga kerajaan serta dibangunnya sebuah candi yang diberi nama Candi Supo.
Ditempat peristirahatan tersebut terdapat sumber mata air yang mengalir dingin dan sejuk seperti semua mata air di wilayah pegunungan. Mata air dingin tersebut sering digunakan mencuci keris-keris yang bertuah sebagai benda pusaka dari kerajaan Sendok. Oleh karena sumber mata air yang sering digunakan untuk mencuci benda-benda kerajaan yang bertuah dan mempunyai kekuatan supranatural (Magic) yang maha dasyat, akhirnya sumber mata air yang semula terasa dingin dan sejuk akhirnya berubah menjadi sumber air panas. Dan sumberair panas itupun sampai saat ini menjadi sumber abadi di kawasan Wisata Songgoriti.
Wilayah Kota Batu yang terletak di dataran tinggi di kaki Gunung Panderman dengan ketinggian 700 sampai 1100 meter di atas permukaan laut, berdasarkan kisah-kisah orang tua maupun dokumen yang ada maupun yang dilacak keberadaannya, sampai saat ini belum diketahui kepastiannya tentang kapan nama "B A T U" mulai disebut untuk menamai kawasan peristirahatan tersebut.
Dari beberapa pemuka masyarakat setempat memang pernah mengisahkan bahwa sebutan Batu berasal dari nama seorang ulama pengikut Pangeran Diponegoro yang bernama Abu Ghonaim atau disebut sebagai Kyai Gubug Angin yang selanjutnya masyarakat setempat akrab menyebutnya dengan panggilan Mbah Wastu. Dari kebiasaan kultur Jawa yang sering memperpendek dan mempersingkat mengenai sebutan nama seseorang yang dirasa terlalu panjang, juga agar lebih singkat penyebutannya serta lebih cepat bila memanggil seseorang, akhirnya lambat laun sebutan Mbah Wastu dipanggil Mbah Tu menjadi Mbatu atau batu sebagai sebutan yang digunakan untuk Kota Dingin di Jawa Timur.
Sedikit menengok ke belakang tentang sejarah keberadaan Abu Ghonaim sebagai cikal bakal serta orang yang dikenal sebagai pemuka masyarakat yang memulai babat alas dan dipakai sebagai inspirasi dari sebutan wilayah Batu, sebenarnya Abu Ghonaim sendiri adalah berasal dari JawaTengah. Abu Ghonaim sebagai pengikut Pangeran Diponegoro yang setia, dengan sengaja meninggalkan daerah asalnya Jawa Tengah dan hijrah dikaki Gunung Panderman untuk menghindari pengejaran dan penangkapan dari serdadu Belanda (Kompeni)
Abu Ghonaim atau Mbah Wastu yang memulai kehidupan barunya bersama dengan masyarakat yang ada sebelumnya serta ikut berbagi rasa, pengetahuan dan ajaran yang diperolehnya semasa menjadi pengikut Pangeran Diponegoro. Akhirnya banyak penduduk dan sekitarnya dan masyarakat yang lain berdatangan dan menetap untuk berguru, menuntut ilmu serta belajar agama kepada Mbah Wastu.
Bermula mereka hidup dalam kelompok (komunitas) di daerah Bumiaji, Sisir dan Temas akhirnya lambat laun komunitasnya semakin besar dan banyak serta menjadi suatu masyarakat yang ramai.
Sebagai layaknya Wilayah Pegunungan yang wilayahnya subur, Batu dan sekitarnya juga memiliki Panorama Alam yang indah dan berudara sejuk, tentunya hal ini akan menarik minat masyarakat lain untuk mengunjungi dan menikmati Batu sebagai kawasan pegunungan yang mempunyai daya tarik tersendiri. Untuk itulah di awal abad 19 Batu berkembang menjadi daerah tujuan wisata, khususnya orang-orang Belanda, sehingga orang-orang Belanda itupun membangun tempat-tempat Peristirahatan (Villa) bahkan bermukim di Batu.
Situs dan bangunan-bangunan peninggalan Belanda atau semasa Pemerintahan Hindia Belanda itupun masih berbekas bahkan menjadi aset dan kunjungan Wisata hingga saat ini. Begitu kagumnya Bangsa Belanda atas keindahan dan keelokan Batu, sehingga bangsa Belanda mensejajarkan wilayah Batu dengan sebuah negara di Eropa yaitu Switzerland dan memberikan predikat sebagai De Klein Switzerland atau Swiss kecil di Pulau Jawa.
Peninggalan arsitektur dengan nuansa dan corak Eropa pada penjajahan Belanda dalam bentuk sebuah bangunan yang ada saat ini serta panorama alam yang indah di kawasan Batu sempat membuat Bapak Proklamator sebagai The Father Foundation of Indonesia yaitu Bung Karno dan Bung Hatta setelah Perang Kemerdekaan untuk mengunjungi dan beristirahat dikawasan Selecta Batu.
Pada waktu pemerintahan Raja Sindok , seorang petinggi Kerajaan bernama Mpu Supo diperintah Raja Sendok untuk membangun tempat peristirahatan keluarga kerajaan di pegunungan yang didekatnya terdapat mata air. Dengan upaya yang keras, akhirnya Mpu Supo menemukan suatu kawasan yang sekarang lebih dikenal sebagai kawasan Wisata Songgoriti.
Atas persetujuan Raja, Mpu Supo yang konon kabarnya juga sakti mandraguna itu mulai membangun kawasan Songgoriti sebagai tempat peristirahatan keluarga kerajaan serta dibangunnya sebuah candi yang diberi nama Candi Supo.
Ditempat peristirahatan tersebut terdapat sumber mata air yang mengalir dingin dan sejuk seperti semua mata air di wilayah pegunungan. Mata air dingin tersebut sering digunakan mencuci keris-keris yang bertuah sebagai benda pusaka dari kerajaan Sendok. Oleh karena sumber mata air yang sering digunakan untuk mencuci benda-benda kerajaan yang bertuah dan mempunyai kekuatan supranatural (Magic) yang maha dasyat, akhirnya sumber mata air yang semula terasa dingin dan sejuk akhirnya berubah menjadi sumber air panas. Dan sumberair panas itupun sampai saat ini menjadi sumber abadi di kawasan Wisata Songgoriti.
Wilayah Kota Batu yang terletak di dataran tinggi di kaki Gunung Panderman dengan ketinggian 700 sampai 1100 meter di atas permukaan laut, berdasarkan kisah-kisah orang tua maupun dokumen yang ada maupun yang dilacak keberadaannya, sampai saat ini belum diketahui kepastiannya tentang kapan nama "B A T U" mulai disebut untuk menamai kawasan peristirahatan tersebut.
Dari beberapa pemuka masyarakat setempat memang pernah mengisahkan bahwa sebutan Batu berasal dari nama seorang ulama pengikut Pangeran Diponegoro yang bernama Abu Ghonaim atau disebut sebagai Kyai Gubug Angin yang selanjutnya masyarakat setempat akrab menyebutnya dengan panggilan Mbah Wastu. Dari kebiasaan kultur Jawa yang sering memperpendek dan mempersingkat mengenai sebutan nama seseorang yang dirasa terlalu panjang, juga agar lebih singkat penyebutannya serta lebih cepat bila memanggil seseorang, akhirnya lambat laun sebutan Mbah Wastu dipanggil Mbah Tu menjadi Mbatu atau batu sebagai sebutan yang digunakan untuk Kota Dingin di Jawa Timur.
Sedikit menengok ke belakang tentang sejarah keberadaan Abu Ghonaim sebagai cikal bakal serta orang yang dikenal sebagai pemuka masyarakat yang memulai babat alas dan dipakai sebagai inspirasi dari sebutan wilayah Batu, sebenarnya Abu Ghonaim sendiri adalah berasal dari JawaTengah. Abu Ghonaim sebagai pengikut Pangeran Diponegoro yang setia, dengan sengaja meninggalkan daerah asalnya Jawa Tengah dan hijrah dikaki Gunung Panderman untuk menghindari pengejaran dan penangkapan dari serdadu Belanda (Kompeni)
Abu Ghonaim atau Mbah Wastu yang memulai kehidupan barunya bersama dengan masyarakat yang ada sebelumnya serta ikut berbagi rasa, pengetahuan dan ajaran yang diperolehnya semasa menjadi pengikut Pangeran Diponegoro. Akhirnya banyak penduduk dan sekitarnya dan masyarakat yang lain berdatangan dan menetap untuk berguru, menuntut ilmu serta belajar agama kepada Mbah Wastu.
Bermula mereka hidup dalam kelompok (komunitas) di daerah Bumiaji, Sisir dan Temas akhirnya lambat laun komunitasnya semakin besar dan banyak serta menjadi suatu masyarakat yang ramai.
Sebagai layaknya Wilayah Pegunungan yang wilayahnya subur, Batu dan sekitarnya juga memiliki Panorama Alam yang indah dan berudara sejuk, tentunya hal ini akan menarik minat masyarakat lain untuk mengunjungi dan menikmati Batu sebagai kawasan pegunungan yang mempunyai daya tarik tersendiri. Untuk itulah di awal abad 19 Batu berkembang menjadi daerah tujuan wisata, khususnya orang-orang Belanda, sehingga orang-orang Belanda itupun membangun tempat-tempat Peristirahatan (Villa) bahkan bermukim di Batu.
Situs dan bangunan-bangunan peninggalan Belanda atau semasa Pemerintahan Hindia Belanda itupun masih berbekas bahkan menjadi aset dan kunjungan Wisata hingga saat ini. Begitu kagumnya Bangsa Belanda atas keindahan dan keelokan Batu, sehingga bangsa Belanda mensejajarkan wilayah Batu dengan sebuah negara di Eropa yaitu Switzerland dan memberikan predikat sebagai De Klein Switzerland atau Swiss kecil di Pulau Jawa.
Peninggalan arsitektur dengan nuansa dan corak Eropa pada penjajahan Belanda dalam bentuk sebuah bangunan yang ada saat ini serta panorama alam yang indah di kawasan Batu sempat membuat Bapak Proklamator sebagai The Father Foundation of Indonesia yaitu Bung Karno dan Bung Hatta setelah Perang Kemerdekaan untuk mengunjungi dan beristirahat dikawasan Selecta Batu.
SEJARAH PEMERINTAHAN KOTA BATU
Setelah Jawa Timur mempunyai Kota Administratif Jember, maka yang kedua kalinya ketambahan Kota Administratif lagi yang sangat diandalkan sebagai sentra wisata Jawa Timur, yaitu dengan lahirnya Kota Administratif Batu. Kelahiran ini pada tanggal 6 Maret 1993 dengan Walikota pertamanya Drs. Chusnul Arifien Damuri. Pelantikan dan peresmian itu dilakukan di kantor Pembantu Bupati Malang di Batu yang terletak di pusat kota di Jalan Panglima Sudirman No. 98. Pelantikan itu langsung dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri Rudini, hadir juga Bupati Malang, Drs. Abdul Hamid Mahmud, para pejabat serta undangan lainnya.
Kelahiran itu berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 12 tahun 1993 tentang Peningkatan Status Kecamatan Batu menjadi Kotatif Batu yang terdiri dari 3 kecamatan yaitu Kecamatan Batu (wilayah pusat), Kecamatan Bumiaji (wilayah utara) dan Kecamatan Junrejo (wilayah selatan). Saat itulah Batu sebagai klasifikasi kota sedang menyiapkan diri untuk lebih meningkatkan prestasinya. Prestasi pertama yang diraih adalah adanya Gerakan K3 (Kebersihan, Ketertiban dan Keindahan) yang secara simbolis dilaksanakan pada hari Jumat tanggal 16 April 1993, lalu diciptakannya semboyan “BATU BERAMAL”, yang dapat diuraikan sebagai berikut :
- Bersih
- Elok
- Rapi
- Aman
- Manusiawi
- Agrowisata dan Industri
- Lestari
Dalam bidang kebersihan Batu mampu meraih piala Adipura sebanyak 4 kali berturut-turut (mulai tahun 1993-1996) untuk klasifikasi sedang. Selain prestasi-prestasi di atas, Kotatif Batu mulai membangun sarana dan prasarana yang memadai khususnya bisa mendukung sektor kepariwisataan, perdagangan dan industri. Sarana dan prasarana itu antara lain yaitu:
- Sarana Transportasi
- Sarana Perhubungan
- Sarana Penerangan
- Sarana Perbelanjaan
- Sarana Kesehatan
- Sarana Hiburan
- Sarana Keamanan
Selain prestasi, sarana dan prasarana di atas, Kotatif Batu juga biasa dikunjungi sebagai tempat acara-acara penting daerah maupun Nasional, contoh : biasa dibuat Konferensi Pers, bahkan pada saat MTQ ke-19 tingkat Jawa Timur, Malang ditempati sebagai tuan rumahnya dan menunjuk Kota Batu yang akan dijadikan tempat berlangsungnya MTQ tersebut. Hotel-hotel bertaraf internasional banyak dibangun dan kesemuanya memilki fasilitas lengkap, seperti kamar standard, royal suite, cottage, tennis court, kolam renang, ruang pertemuan, squash court, bar, diskotek, kafe, kebun buah (apel, jeruk), kebun sayur serta fasilitas lainnya.
Perkembangan Kotatif Batu sebagai sentra wisata Jawa Timur terus meningkat hari demi hari, kota yang dulunya tidak selengkap kota lain, sekarang hampir menyamai kota-kota lainnya. Karena perkembangan Batu cukup maju maka banyak warga dari Kotatif Batu yang ingin status kotanya ditingkatkan, organisasi-organisasi banyak didirikan untuk mendukung peningkatan status Kotatif Batu, misalnya Kelompok Kerja (Pokja) Batu, kelompok kerja ini berusaha bersama masyarakat Batu untuk meningkatkan status kotanya. Dukungan-dukungan lainnya dari Bupati Malang, DPRD II Malang, Gubernur Jawa Timur dan organisasi masyarakat lainnya. Setelah hampir 8 tahun menjadi Kota Administratif yang diperintah oleh 3 Walikota, yaitu Drs. Chusnul Arifien Damuri, Drs. Gatot Bambang Santoso dan Drs. Imam Kabul, akhirnya Batu ditingkatkan statusnya menjadi Pemerintah Kota Batu. Pemerintah Kota Batu Tanggal 28 Mei 2001 proses peningkatan status Kota Administrattif Batu menjadi Pemerintah Kota mulai dilaksanakan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah.
Tanggal 30 Juni 2001 UU No. 11 tentang Peningkatan Status Kota Administratif Batu disahkan, setelah beberapa bulan kemudian yaitu pada tanggal 17 Oktober 2002 secara resmi Kotatif Batu ditingkatkan statusnya menjadi Pemerintah Kota. Kemudian pada tanggal 22 Oktober 2002 Gubernur Jawa Timur atas nama Menteri Otonomi Daerah melantik Drs. Imam Kabul sebagai Walikota Batu. Esok harinya masyarakat Kota Batu menyambutnya dengan bersyukur pada Allah SWT, mulai menyambut dengan acara syukuran tumpengan bersama, pemasangan spanduk-spanduk yang membanjiri setiap jalan dan sudut Kota Batu. Setelah Batu ditingkatkan statusnya dengan pejabat Walikotanya Drs. Imam Kabul, Batu ingin meningkatkan lagi pembangunannya, baik pembangunan fisik maupun non fisik. Sejak statusnya meningkat, Pemerintah Kota Batu bersama masyarakat mulai menyiapkan diri bagaimana agar pamor dan citra kota dingin ini tetap ada dan tetap dikenang banyak orang baik domestik maupun luar negeri.
Kronologis Terbentuknya Pemerintah Kota Batu
- Pada tahun 1950 berdasarkan Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kabupaten dalam lingkungan Propinsi Jawa Timur, Batu masih merupakan Kecamatan dalam lingkungan wilayah Pemerintah Kabupaten Malang.
- Pada tahun 1997 Kecamatan Batu sebagai Daerah Kota Administratif berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 1997 tentang Pembentukan Kota Administratif Kota Batu, dalam wilayah Kabupaten Malang, yang meliputi wilayah Kecamatan Batu, Kecamatan Bumiaji dan Kecamatan Junrejo.
- Pada tahun 2001 Kota Administratif statusnya kemudian berubah menjadi Kota Batu berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Batu yang disahkan oleh Presiden Republik Indonesia tanggal 21 Juni 2001, maka tanggal 17 Oktober 2001 telah diresmikan Kota Batu menjadi Daerah Otonom yang terpisah dari Kabupaten Malang yang meliputi tiga Kecamatan (Kecamatan Batu, Kecamatan Bumiaji dan Kecamatan Junrejo) terdiri dari 19 Desa serta Kelurahan.
- Pada hari Jum’at tanggal 30 Agustus 2002 diadakan pemilihan anggota DPRD Kota Batu. Dan selanjutnya pada hari Senin tanggal 16 September 2002 DPRD Kota Batu dilantik. Setelah DPRD Kota Batu terbentuk, maka secara resmi dan sah Pemerintah Kota Batu telah memiliki Badan Legislatif dan secara sah pula DPRD berhak dan mengadakan Pemilihan Kepala Daerah.
- Pada hari Senin tanggal 4 November 2002 diadakan Pemilihan Kepala Daerah dan terpilih Drs. H. Imam Kabul M.Si yang berpasangan dengan Drs. M. Khudhori sebagai Walikota dan Wakil Walikota Batu yang pertama.
- Pada hari Senin tanggal 25 November 2002 dilaksanakan Pelantikan Walikota dan Wakil Walikota Batu oleh Gubernur Imam Utomo.
- Pada tanggal 26 Agustus 2007 Walikota Batu Drs. H. Imam Kabul M.Si. meninggal dunia dan tanggal 20 September 2007 Drs. M. Khudhori yang pada waktu itu sebagai Wakil Walikota Batu dilantik menjadi Walikota Batu yang dilantik oleh Gubernur Jawa Timur.
- Tanggal 25 Nopember 2007 masa jabatan Walikota Batu berakhir dan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri tanggal 20 Nopember 2007 Nomor : 131.35-321 Tahun 2007 diangkat Mayjen TNI (Purn) IMAM UTOMO S sebagai Penjabat Walikota Batu.
- Pada tanggal 26 Nopember 2007 melalui Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor : 131.422/65/011/2007 ditunjuk Sdr. Drs. SOERJANTO SUBANDI, MM Kepala Badan Koordinasi Wilayah III Malang sebagai Pelaksana Tugas Harian Walikota Batu.
- Pada Pemilihan Langsung Kepala Daerah tanggal 5 November 2007 pasangan calon Walikota Batu EDDY RUMPOKO dengan calon Wakil Walikota Batu H.A. BUDIONO memperoleh suara terbanyak.
Langganan:
Postingan (Atom)